BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Bahasa Ku adalah Identitas Bangsa Ku |
Namun sayangnya perkembangan bahasa
kita di luar negeri tidak sejalan dengan perkembangan sumber daya manusia di
dalam negeri. Saat ini banyak orang Indonesia yang tidak lancar menggunakan
bahasa Indonesia. Kebanyakan mereka cenderung mencampur-adukkan bahasa
Indonesia dengan bahasa lokal yang bertolak belakang dari penggunaan bahasa
yang baik dan benar.
Sebagai contoh, saat kita
mengunjungi sebuah daerah di pulau jawa. Mayoritas orang disana akan
menggunakan bahasa Indonesia saat berinteraksi dengan orang asing. Namun
penggunaan bahasanya masih terpengaruh oleh dialek sehari-hari, bahkan
memasukkan kata-kata bahasa jawa pada bahasa Indonesia yang mereka gunakan.
Pada dasarnya, mereka mengerti apa yang diucapkan lawan bicara. Tetapi mereka
merasa kesulitan untuk menyampaikan pendapat atau menerjemahkan dalam bahasa Indonesia yang benar. Sehingga
terkesan bahwa mereka tidak bisa berbicara dalam bahasa Indonesia. Padahal hal
tersebut hanya disebabkan karena kemampuan pengolahan bahasa Indonesia mereka
yang lemah.
Menyelipkan istilah dari bahasa
lokal, masih terkategori dalam kewajaran masyarakat Indonesia. Hal ini
disebabkan karena bahasa kesehariannya adalah bahasa informal daerah tempat
mereka dibesarkan. Dalam komunikasi sehari-hari masyarakat Indonesia tidak
menggunakan bahasa Indonesia formal tetapi bahasa informal yang tidak memiliki
aturan yang baku. Sehingga setiap orang bebas mencampur adukkan istilah. Dalam
bahasa informal hal ini sah-sah saja.
Hal yang tidak wajar adalah sikap
sebagian masyarakat yang menggantikan kedudukan bahasa Indonesia dengan lebih
banyak menyerap kata dari bahasa asing (bahasa Inggris). Di berbagai pusat
perbelanjaan maupun media elektronik seolah menggambarkan betapa bahasa
Indonesia diasingkan dari Negara ini. Semakin banyak pula perusahaan yang mulai
beriklan dengan bahasa Inggris. Seperti ada konsep pemasaran yang tidak
tertulis bahwa pasar akan lebih tertarik jika nama toko, tempat atau barang
menggunakan bahasa Inggris karena terlihat lebih keren. Sehingga tidak heran
apabila saat ini semakin banyak istilah dalam bahasa asing yang dimasukkan pada
kosa kata bahasa Indonesia.
Dari latar
belakang inilah, penulis memutuskan untuk membuat karya tulis yang berjudul “Berkomunikasi
Dalam Bahasa Indonesia Dengan Baik Dan Benar Di Kehidupan Sehari-hari” dengan
tujuan untuk memberikan pemahaman mengenai cara meningkatkan kemampuan penggunaan
bahasa Indonesia yang baik dan benar.
1.2.
Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam karya tulis
ini antara lain sebagai berikut :
1.2.1. Apa penyebab lemahnya kemampuan berbahasa Indonesia dalam kehidupan masyarakat
saat ini ?
1.2.2. Bagaimanakah cara berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dengan baik
dan benar di kehidupan
sehari-hari ?
1.3.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari pembuatan karya tulis
ini antara lain sebagai berikut :
1.3.1. Untuk mengetahui penyebab lemahnya kemampuan berbahasa Indonesia
dalam kehidupan
masyarakat saat ini
1.3.2. Untuk mengetahui cara berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dengan baik dan benar di kehidupan
sehari-hari.
BAB II
PEMBAHASAN
2. 1.
Penyebab Kurangnya Kemampuan Berbahasa Indonesia
Salah satu penyebab lemahnya kemampuan berbahasa
Indonesia bagi masyarakat adalah sebagai berikut :
2.1.1. Ragam
Bahasa Penutur
Ragam Bahasa adalah variasi bahasa menurut pemakaian
yang berbeda-beda, topik yang dibicarakan, hubungan pembicara, orang yang
dibicarakan, serta medium pembicara. Ragam bahasa penutur dibagi menjadi 3,
antara lain sebagai berikut :
2.1.1.1.
Ragam Bahasa Berdasarkan Daerah (Logat/Dialek)
Luasnya pemakaian bahasa dapat menimbulkan perbedaan
pemakaian bahasa. Bahasa Indonesia yang digunakan oleh orang yang tinggal di
Jakarta berbeda dengan bahasa Indonesia yang digunakan di Jawa Tengah, Bali,
Jayapura, dan Tapanuli. Masing-masing memiliki ciri khas yang berbeda-beda.
Misalnya logat bahasa Indonesia orang Jawa Tengah tampak pada pelafalan “b”
pada posisi awal saat melafalkan nama-nama kota seperti Bogor, Bandung,
Banyuwangi, dan lain-lain. Logat bahasa Indonesia orang Bali tampak pada pelafalan
“t” seperti pada kata ithu,
kitha, canthik dan lain lain
2.1.1.2.
Ragam Bahasa Berdasarkan Pendidikan Penutur
Bahasa Indonesia yang digunakan oleh kelompok penutur
yang berpendidikan berbeda dengan yang tidak berpendidikan, terutama dalam
pelafalan kata yang berasal dari bahasa asing, misalnya fitnah, kompleks, vitamin, video, film, fakultas. Penutur yang tidak
berpendidikan mungkin akan mengucapkan pitnah, komplek, pitamin, pideo, pilm,
pakultas. Perbedaan ini juga terjadi dalam bidang tata bahasa, misalnya mbawa
seharusnya membawa, nyari seharusnya mencari. Selain itu bentuk kata dalam
kalimat pun sering menanggalkan awalan yang seharusnya dipakai.
2.1.1.3.
Ragam Bahasa Berdasarkan Sikap Penutur
Ragam bahasa
dipengaruhi juga oleh setiap penutur terhadap kawan bicara (jika lisan) atau
sikap penulis terhadap pembawa (jika dituliskan) sikap itu antara lain resmi,
akrab, dan santai. Kedudukan kawan bicara atau pembaca terhadap penutur atau
penulis juga mempengaruhi sikap tersebut. Misalnya, kita dapat mengamati bahasa
seorang bawahan atau petugas ketika melapor kepada atasannya. Jika terdapat
jarak antara penutur dan kawan bicara atau penulis dan pembaca, akan digunakan
ragam bahasa resmi atau bahasa baku. Makin formal jarak penutur dan kawan
bicara akan makin resmi dan makin tinggi tingkat kebakuan bahasa yang
digunakan. Sebaliknya, makin rendah tingkat keformalannya, makin rendah pula
tingkat kebakuan bahasa yang digunakan. (Effendi, 1995)
2.1.2. Kelainan Bahasa
Ganguan
atau kesulitan berbagahasa sering dikaitkan dengan penyakit yang menyebabkan
terjadinya gangguan dalam berkomunikasi. Oleh karena itu, jika penguasaan
bahasa mendapat gangguan, maka komunikasinya pun terganggu. Beberapa ahli patologi bahasa memberikan
klasifikasi kelainan bahasa yang mempengaruhi kebiasaan berkomunikasi
seseorang. Klasifikasi tersebut antara lain sebagai berikut :
2.1.2.1.
Aphasia
Istilah ini digunakan
untuk menggambarkan hilangnya kemampuan berbahasa seseorang karena adanya
gangguan pada sistem syaraf pusat. Gangguan ini dapat disebabkan oleh cidera
pada kulit otak yang terjadi karena kecelakaan, benturan yang keras, atau
stroke. Gangguan ini bersifat multi dimensi, sehingga kemampuan menggunakan
atau menguasai simbol seolah-olah lenyap. Parahnya ketidakmampuan yang
diakibatkan bergantung dari letak cidera atau luka, umur serta kondisi
kesehatan ketika terjadinya cidera tersebut.
2.1.2.2.
Dysarthria dan Apraxia
Dysarthria muncul menyertai aphasia, yaitu berupa
gangguan berbicara yang diakibatkan oleh hilangnya kontrol otot-otot pada
mekanisme berbicara (Owen, Jr., 1984). Kerusakan atau cidera pada sistem syaraf
dapat berakibat pada terganggunya gerakan, baik dalam bentuk gerakan itu
sendiri, kecepatannya, maupun irama gerakannya. Oleh karena itu dyarthria dapat
muncul dalam bentuk penghilangan atau distrorsi (penyimpangan) bunyi,
penghilangan bunyi, atau salah ucap yang terjadi secara permanen. Misalnya
penderita dysrthria selalu menghilangkan bunyi pada awal, tengah, akhir kata.
Misalnya: kata berangkat diucapkan angkat, meskipun diucapkan kipun atau
mespun.
2.1.2.3.
Apraxia
merupakan gangguan yang muncul
dalam memilih dan memprogram pembicaraan. Karakteristik yang menonjol dalam
gangguan ini antara lain tercermin dalam munculnya kesulitan untuk memulai
pembicaraan, kesalahan pengucapan yang tidak konsisten, serta tampaknya gerakan
meraba-raba atau mengubah sikap badan untuk ke sumber suara, walaupun apraxia
dan dysarthria bukan merupakan gangguan lingusitik , tetapi keduanya dapat muncul
bersama dengan munculnya gangguan linguistik seperti aphasia.
2.1.2.4.
Dyslexia
Gangguan ini berkaitan dengan hilangnya kemampuan untuk
membaca. Gangguan ini terjadi karena tidak berfungsinya secara normal syaraf
yang berhubungan atau yang mengatur kemampuan membaca. Dyslexia sering disebut
sebagai ”word blindness” (kebutaan akan kata-kata) karena penderita seolah-olah
tidak mengenal kata-kata yang dibacanya. Gangguan ini mencakup berbagai variasi
dengan tingkat keparahan yang berbeda-beda, dari yang paling ringan sampai yang
paling parah. Hakikat dyslexia terletak pada kebingungan dan kesulitan yang
dialami seseorang selama karena ia seolah-olah tidak mengenal bunyi, arti,
ataupun ejaan dari kata yang dilihatnya. (Endang, 2008)
2.1.2.5.
Dysgraphia
Gangguan ini berkaitan dengan
berkurangnya atau hilangnya kemampuan dalam menulis, sehingga tulisan yang
dihasilkan sangat buruk dan hampir tidak dapat dibaca. Gangguan ini terjadi
karena otot-otot serta syaraf-syaraf yang berfungsi dalam mengendalikan gerakan
halus (fine motor) terganggu atau tidak berfungsi.
2.1.2.6.
Gagap
Gangguan ini merupakan gangguan
dalam kelancaran dan irama berbicara yang dapat muncul dalam bentuk yang paling
ringan sampai paling parah. Penderita gangguan ini biasanya susah menghasilkan
atau memulai pengucapan bunyi, menulang-ngulang kata berkali-kali, memanjangkan
kata, atau berhenti terlalu lama. Penderita gangguan ini kadang-kadang
berkeringat, mengedipkan mata, kerutan wajah, dan gerakan kepala pada saat
mengucapkan kata-kata, terlebih pada kata-kata pertama.
2.1.2.7.
Suara Sumbang atau Kelainan dalam
Suara
Volume, tempo, keras linak suara
serta kualitas suara memegang peranan penting dalam berkomunikasi oral.
Gangguan terjadi akibat ada kelainan pada alat-alat ucapnya, seperti: gigi
geligi tidak lengkap, sumbing, pita suara putus satu, celah langit-langit dsb.
Contohnya, orang yang mengalami celah langit-langit bicaranya sengau.
2.1.2.8.
Salah pengucapan
Gangguan ini sering muncul dalam
dalam empat bentuk, yaitu: penghilangan penggantian, penyimpangan, serta
penambahan bunyi. Misalnya: sekolah diucapkan sekola, buku diucapkan puku,
Bandung diucapkan mbandung, gelas diucapkan gela.
2.1.2.9.
Disaudia Yaitu
kesulitan bicara yang disebabkan olehat gangguan pendengaran.
2.1.2.10.
Dislogia Yaitu
kesulitan bicara yang disebabkan oleh kemampuan kapasitas berpikir atau taraf
kecerdasan di bawah normal.
2.1.2.11.
Disglosia
Kesulitan bicara yang disebabkan oleh kelainan bentuk
struktur dari organ bicara yaitu artikulator, seperti: palatoskisis (celah pada
palatum), celah bibir, maloklusi (salah temu gigi atas dan gigi bawah), anomali
(penyimpangan dar nilai baku, seperti: bentuk lidah yang tebal, tidak tumbuh
velum, tali lidah pendek).
2.1.2.12.
Dislalia
Kesulitan bicara yang disebabkan oleh faktor psikososial
yang paling dominan disebabkan oleh faktor lingkungan dan gejala psikologis.
2.1.2.13.
Afonia
Kesulitan dalam memproduksi suara atau tidak dapat
bersuara sama sekali. Kesulitan ini disebabkan adanya kelumpuhan pita suara.
2.1.2.14.
Gangguan Suara
Suara dihasilkan oleh pita suara
yang diawali dengan keluarnya udara dari paru-paru, kemudian melalui pita suara
menyentuh dinding resonansi, atau menggetarkan pita suara itu sendiri sehingga
menimbulkan getaran udara. Getaran-getaran tersebut yang disebut sebagai
getaran suara. Gangguan dalam proses produksi suara meliputi aktivitas pada
saat fonasi sehingga mempengaruhi unsur-unsur suara, yaitu nada, kekerasan, dan
kualitas suara.
2.1.2.15.
Kelainan Artikulasi
Semacam
kesulitan yang berkaitan dengan produksi fisik dan pengucapan suara seseorang.
2.1.2.16.
Kelainan Ekspresif Bahasa
Merupakan
kesulitan dalam memilih dan menggabungkan kata-kata dengan benar. Anak ini
tidak mempunyai masalah dengan pengucapan kata, tapi bermasalah dalam
mengulang kata yang tepat, membentuk kalimat, dan menggunakan tata bahasa
yang benar.
2.1.2.17.
Kelainan Reseptif Bahasa
Sulit memahami bahasa yang diucapkan.
(Tarmansyah, 1996)
2. 2.
Cara Berkomunikasi Dalam Bahasa Indonesia Dengan
Baik Dan Benar
Sebelum sampai pada pembahasan
bahasa Indonesia yang benar dan baik, terlebih dahulu kita perlu tahu bagaimana
standar resmi pembakuan bahasa Indonesia. Jika bahasa sudah memiliki baku atau
standar yang sudah disepakati dan diresmikan oleh negara atau pemerintah,
barulah dapat dibedakan antara pemakaian bahasa yang benar dan tidak. Seperti
yang ditulis di buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia terbitan Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan (sekarang Depdiknas) tahun 1988, pemakaian bahasa
yang mengikuti kaidah yang dibakukan atau yang dianggap baku itulah yang
merupakan bahasa yang benar. Berikut cara berkomunikasi dalam bahasa
Indonesia dengan baik dan benar :
2.2.1.
Mengetahui Laras Bahasa dan Ciri
Ragam Bahasa Baku
Bahasa yang baik adalah bahasa yang sesuai
dengan situasi. Sebagai alat komunikasi, bahasa harus dapat efektif
menyampaikan maksud kepada lawan bicara. Karenanya, laras
bahasa yang
dipilih pun harus sesuai.
Ada lima laras bahasa
yang dapat digunakan sesuai situasi. Berturut-turut sesuai derajat
keformalannya, ragam tersebut dibagi sebagai berikut.
1. Ragam beku (frozen);
digunakan pada situasi hikmat dan sangat sedikit memungkinkan keleluasaan
seperti pada kitab suci, putusan pengadilan, dan upacara pernikahan.
2. Ragam resmi (formal);
digunakan dalam komunikasi resmi seperti pada pidato, rapat resmi, dan jurnal
ilmiah.
3. Ragam konsultatif (consultative);
digunakan dalam pembicaraan yang terpusat pada transaksi atau pertukaran
informasi seperti dalam percakapan di sekolah dan di pasar.
4. Ragam santai (casual);
digunakan dalam suasana tidak resmi dan dapat digunakan oleh orang yang belum
tentu saling kenal dengan akrab.
5. Ragam akrab (intimate).
digunakan di antara orang yang memiliki hubungan yang sangat akrab dan intim.
Bahasa yang benar adalah bahasa yang sesuai
dengan kaidah bahasa baku, baik kaidah untuk bahasa baku tertulis maupun bahasa
baku lisan. Ciri-ciri ragam bahasa baku adalah sebagai berikut.
1. Penggunaan kaidah tata
bahasa normatif.
Misalnya dengan penerapan pola kalimat yang baku: acara itu sedang kami
ikuti dan bukan acara itu kami sedang ikuti.
2. Penggunaan kata-kata baku. Misalnya cantik sekali dan
bukan cantik banget; uang dan bukan duit;
serta tidak mudah dan bukan nggak gampang.
3. Penggunaan ejaan resmi dalam ragam
tulis. Ejaan yang kini berlaku dalam bahasa Indonesia adalah ejaan yang disempurnakan (EYD). Bahasa baku harus
mengikuti aturan ini.
4. Penggunaan lafal baku dalam ragam
lisan. Meskipun hingga saat ini belum ada lafal baku yang sudah ditetapkan,
secara umum dapat dikatakan bahwa lafal baku adalah lafal yang bebas dari
ciri-ciri lafal dialek setempat atau bahasa daerah. Misalnya: /atap/ dan bukan
/atep/; /habis/ dan bukan /abis/; serta /kalaw/ dan bukan /kalo/.
5. Penggunaan kalimat secara efektif.
Di luar pendapat umum yang mengatakan bahwa bahasa Indonesia itu bertele-tele,
bahasa baku sebenarnya mengharuskan komunikasi efektif: pesan pembicara atau
penulis harus diterima oleh pendengar atau pembaca persis sesuai maksud
aslinya.
Dari semua ciri bahasa
baku tersebut, sebenarnya hanya nomor 2 (kata baku) dan nomor 4 (lafal baku)
yang paling sulit dilakukan pada semua ragam. Tata bahasa normatif, ejaan
resmi, dan kalimat efektif dapat diterapkan (dengan penyesuaian) mulai dari
ragam akrab hingga ragam beku. Penggunaan kata baku dan lafal baku pada
ragam konsultatif, santai, dan akrab malah akan menyebabkan bahasa menjadi
tidak baik karena tidak sesuai dengan situasi.
2.2.2.
Pemanfaatan Ragam Bahasa Sesuai Situasi
Berbahasa
Indonesia dengan baik dan benar dapat diartikan sebagai pemakaian ragam bahasa
yang serasi dengan sasarannya. Di samping itu juga mengikuti kaidah bahasa yang
betul. Ungkapan bahasa Indonesia yang baik dan benar mengacu ke ragam bahasa
yang sekaligus memenuhi persyaratan kebaikan dan kebenaran. Berbahasa Indonesia
dengan baik dan benar mempunyai beberapa
konsekuensi logis terkait dengan pemakaianya sesuai dengan situasi dan kondisi.
Pada kondisi tertentu ,yaitu pada situasi formal pengguanaan bahasa Indonesia
yang benar menjadi pioritas utama. Penggunaan bahasa seperti ini sering
menggunakan bahasa baku. Kendala yang harus di hindari dalam pemakaian bahasa
baku antara lain disebabkan oleh adanya gejala bahasa seperti interferensi,
integrasi, campur kode, alih kode dan bahasa gaul yang tanpa disadari sering
digunakan dalam komunikasi resmi. Hal ini mengakibatkan bahasa yang digunakan
menjadi tidak baik. (Zulfikar, 2013)
Sedangkan
dalam situasi informal, tidak ada ikatan kaidah penggunaan bahasa yang baku.
Pemakaian ragam bahasa baku yang tidak tepat, akan menimbulkan kegelian,
keheranan, atau kecurigaan. Akan sangat ganjil bila dalam tawar-menawar dengan
tukang sayur atau tukang becak kita memakai bahasa Indonesia yang baku seperti
percakapan berikut :
Berapakah
ibu mau menjual tauge ini?
Apakah
abang becak bersedia mengantar saya kepasar Tanah abang dan berapa ongkosnya?
Contoh diatas adalah contoh bahasa
Indonesia yang baku dan benar, tetapi tidak baik dan tidak efektif karena tidak
cocok dengan situasi pemakaian kalimat-kalimat itu. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa penggunaan bahasa Indonesia yang baik dapat dipengaruhi oleh situasi dan
kondisi antara pembicara dan lawan bicara.
(Zulfikar, 2013)
2.2.3.
Belajar dan Berlatih Komunikasi
Bahasa
Indonesia bukanlah bahasa ibu karena kita semua baru mempelajari bahasa
Indonesia yang baik dan benar setelah kita masuk sekolah. Bahasa ibu kita
adalah bahasa informal daerah tempat kita dibesarkan. Sehingga apabila kita
ingin mengetahui cara untuk berkomunikasi dalam bahasa Indonesia yang baik dan
benar adalah dengan mempelajarinya.
Sesuatu apapun apabila tidak diimbangi dengan latihan yang
teratur, maka hasilnya tidak akan maksimal. Latihan berkomunikasi merupakan
salah satu kiat sukses untuk meningkatkan kemampuan dalam berbahasa. Pada fase
ini, kita diharapkan dapat melatih otot-otot yang berkenaan dengan kegiatan
pengolahan kata hingga akhirnya dapat terucap dari mulut. Kegiatan latihan
komunikasi tidak serta-merta membutuhkan lawan bicara. Meskipun banyak sumber
mengatakan bahwa dengan adanya lawan bicara, tingkat keberhasilan latihan
sangat tinggi. Namun bagi orang yang masih merasa kurang percaya diri, berlatih
komunikasi di depan kaca tanpa lawan bicara, bisa menjadi alternatif untuk
terus tetap mengasah kemampuan berbahasa.
Saat
ini banyak institusi pendidikan yang menawarkan program latihan untuk
berkomunikasi. Mayoritas institusi tersebut merupakan lembaga pelatihan
kepribadian yang memiliki kelas khusus untuk berlatih meningkatkan kemampuan
bahasa melalui komunikasi interpersonal. Disana peserta / murid akan diajarkan
bagaimana cara untuk berkomunikasi menggunakan bahasa yang baik dan benar,
sehingga mereka akan terbiasa menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari.
Institusi seperti inilah yang kita perlukan apabila ingin melatih kemampuan
bahasa Indonesia. Terkadang berlatih komunikasi sendirian akan membuat kita
jenuh dan akhirnya menyerah untuk melanjutkan latihan. Sehingga disamping
latihan sendiri di rumah, kita juga memerlukan suatu program pelatihan bahasa
yang telah diatur dengan baik, seperti lembaga pelatihan bahasa (Ayuni, 2012)
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Dari pembahasan diatas, maka diperoleh kesimpulan
antara lain sebagai berikut :
1.
Penyebab
lemahnya kemampuan berbahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari dapat
dipengaruhi oleh keragaman bahasa penutur dan kelainan bahasa.
2.
Keragaman bahasa
penutur dibagi menjadi tiga yaitu ; ragam bahasa
berdasarkan daerah (logat/dialek), ragam bahasa berdasarkan pendidikan penutur, ragam bahasa berdasarkan sikap penutur.
3. Kelainan bahasa terdiri dari
: aphasia, dysarthria, apraxia, dyslexia, dysgraphia,
gagap, suara sumbang atau kelainan dalam suara, salah pengucapan, disaudia,
dislogia, disglosia, dislalia, afonia, gangguan suara, kelainan
artikulasi, kelainan ekspresif bahasa, kelainan reseptif bahasa.
4.
Cara untuk
berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dengan baik dan benar terdiri dari : mengetahui laras bahasa dan ciri
ragam bahasa baku, pemanfaatan
ragam bahasa sesuai situasi serta belajar dan berlatih komunikasi
3.2. Saran
Setiap
masyarakat Indonesia diharapkan dapat menggunakan bahasa Indonesia yang baik
dan benar dalam kehidupan sehari-hari. Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara
mempelajari dan mempraktekkan bahasa Indonesia setiap hari. Sehingga kedudukan
bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional tidak akan disisihkan oleh bahasa
asing yang masuk ke Indonesia seiring perkembangan zaman.
DAFTAR PUSTAKA
Ayuni, Susi Sri. 2012. Meninggkatkan Kemampuan Berbahasa Indonesia. Padang
Effendi, S. 1995. Panduan Berbahasa Indonesia Dengan Baik dan Benar. Jakarta: Pustaka
Jaya
Rusyani,
Endang. 2008. Kesulitan Belajar Bahasa.
Jakarta
Tarmansyah.
1996, Gangguan Komunikasi, Jakarta:
Depdikbud Dirjen Dikti - Proyek Pendidikan Tenaga Guru
0 komentar:
Post a Comment